Manusia-Manusia Dibalik Bumi Manusia, Bag. Pertama
![]() |
| Pramoedya Bumi Manusia |
Ketika membaca frase ‘Bumi Manusia’, berarti kita telah membaca sebuah judul buku legendaris hasil tangan maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Sebagai buku kesatu dalam roman empat serial ‘Pulau Buru’ yang mencakup, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca; kisah Bumi Manusia akan membawa para pembaca kedalam kisah tragedi umat manusia dibelahan bumi Hindia (Indonesia) di masa-masa awal kebangkitan dan pergerakan bangsa. Kisah Bumi Manusia tersaji dalam sudut pandang seorang bocah pribumi, Minke dalam melawan kolonialisme dan feodalisme yang merongrong kehidupan bangsanya. Berawal dari kisah inilah, Minke menyelami hidupnya sebagai manusia modern yang meletakan pondasi paling dasar dalam revolusi bangsa.
Bumi Manusia merupakan roman epik yang tercipta dalam iklim pancaroba yang dialami sang maestro. Pada tahun 1965, Pram (sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer) untuk ketiga kalinya menjadi tahanan politik, dan pada 10 September 1969 ia bersama tahanan politik lain dipindahkan ke sebuah pulau yang dijadikan kamp konsentrasi bernama Buru, di Maluku. Di tanah Buru, di belahan bumi inilah, Pram mengolah dan menyusun projek perekaman sejarah yang sempat terhambat, dalam kisah roman tetralogi ‘Pulau Buru’.
Dari tema cerita yang diangkat kisah Bumi Manusia jelas tidak akan lekang oleh waktu, buku ini sangat menjunjung tinggi semangat Humanisme-Nasionalisme. Secara khusus Bumi Manusia juga menyampaikan pesan tentang betapa pentingnya belajar. Digambarkan melalui sosok Nyai Ontosoroh, seorang Nyai (gundik) yang tidak mengenyam pendidikan formal, dan cenderung dipandang sebelah mata oleh orang-orang, lebih lagi oleh pribumi yang nota bene saudara sebangsanya. Namun lewat semangatnya yang tinggi dalam belajar, melalui tulisan serta buku-buku yang ia baca, pengetahuannya pun berkembang, hingga akhirnya ia menjadi sosok penuh hikmah panutan siswa HBS (Sekolah Menengah Atas, untuk orang Belanda dan para elit pribumi) bernama Minke. Dari belajar itu pula, kehormatan, dan martabat seorang manusia yang telah lama menghilang akhirnya kembali padanya.
Tak heran pada cetakan pertamanya, Juli 1980 Bumi Manusia disambut baik oleh para pembaca. Dalam kurun waktu 12 hari saja, sekitar 5.000 eksemplar roman Bumi Manusia habis terjual, dan di tahun pertamanyapun roman ini telah di cetak ulang sebanyak 10 kali cetak ulang. Tak cukup disitu, beberapa bulan setelah Bumi Manusia tersebar, sejumlah penerbit dari Belanda, Hongkong, Australia, dan Malaysia mendekati Pram dan pihak penerbit pertama untuk menawarkan kerja sama dalam melebarkan jangkauan kisah Minke ini ke seluruh pelosok dunia. Karena hal itu roman inipun tercatat pernah dialihbahasakan kedalam 43 bahasa asing.
Selain itu, Pram dengan roman Bumi Manusia ini pernah mendapatkan beragam penghargaan, seperti “Freedom to Write Award” dari PEN American Center, AS, 1988; Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995; New York Foundation For The Art Award, New York, AS, 2000; The Norwegian Author Union, 2004; dan delapan penghargaan yang menyangkut literatur-kemanusiaan lainnya.
Kisah yang mengambil latar masa kejadian antara tahun 1898-1918 atau masa propaganda politik etis, dan pada masa awal kebangkitan nasional ini, menurut beberapa pengkaji dianggap sebagai salah satu roman fiksi sejarah, paling akurat dalam menyampaikan fakta-faktanya. Kisah yang disusun Pram ini memang bukanlah hasil buah khayalannya saja, melainkan hasil riset-observasi yang serius yang berlangsung selama bertahun-tahun. Pram menulis Bumi Manusia pada kisaran tahun 1969-1979 di Pulau Buru, sedangkan bahan-bahan penulisannya telah ia siapkan sebelum 1965. Dan alangkah luar biasanya ia, pada masa awal penahanannya di Pulau Buru, agar kisah Minke tidak hilang dari ingatan, ia selalu menceritakan kisahnya secara lisan berulang-ulang kepada kawan-kawannya disana.
Bumi Manusia ketika pertama kali keluar begitu menggemparkan dunia kesastraan, sedikit banyaknya mengingatkan kita pada kemahsyuran Max Havelaar karya Multatuli di Belanda. Tokoh Minke yang berusaha menumpas kolonialisme, dan Max Havelaar yang mengutuk tindakan bangsanya dalam imperialisme koloni. Uniknya lagi Minke adalah tokoh nyata yang pernah hidup, seseorang dengan titel Bapak Pers Nasional, yang menjadi pelopor pergerakan. Dari semua kedigdayaan dan kelegendarisan Bumi Manusia memang terdapat beberapa elemen yang tidak bisa dilepaskan darinya, salah satunya adalah elemen manusia-manusia yang ada di balik lahir dan berkembangnya ia. Multatuli dan Bapak Pers adalah salahdua diantara banyak manusia yang mempunyai peran penting didalamnya. Pada tulisan ini penulis akan memapaparkan beberapa tokoh yang rasanya tepat disematkan titel sebagai ‘manusia-manusia dibalik bumi manusia’.
Pramoedya Ananta Toer
Sudah dijelaskan diawal pembahasan, dari pemikiran dan goresan pena beliaulah lahir roman Bumi Manusia dan ketiga seri lanjutannya. Namun memang rasanya butuh ruang khusus untuk mengisahkan kehidupan dan latar belakangnya dalam penciptaan roman ini.
Pramoedya Ananta Toer, lahir pada tanggal 6 Februari 1925 di Blora Jawa Tengah. Besar dilingkungan keluarga yang melek pendidikan, putra pertama dari sembilan bersaudara pasangan Mastoer Imam Badjoeri dan Saidah. Bocah dengan nama lengkap Pramoedya Ananta Mastoer ini kemudian mengenyam pendidikan di Sekolah Boedi Utomo, Blora, tempat dimana Ayahnya mengajar. Kemudian pada tahun 1942 ia berangkat ke Jakarta, dan 3 tahun kemudian ia melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Islam Jakarta.
Diawal masa-masa kemerdekaan tepatnya pada tahun 1946, Pram mengikuti pelatihan militer dan kemudian masuk kedalam satuan Tentara Keamanan Rakyat. Pada tanggal 22 Juli 1947 dimana Belanda semakin gencar mengobok-obok kedaulatan negeri, Pram ditangkap oleh Belanda dan kemudian di penjara di Bukit Duri selama 3 tahun, dimasa inilah Pram mulai menyibukan diri mengekspresikan pikiran dan perasaannya dalam tulisan-tulisan.
Ketika Indonesia sudah dalam masa tenang, yaitu saat kedaulatan bangsa sudah dipegang kembali oleh anak bangsa, pada tahun 1960, Pram menerbitkan sebuah buku berjudul Hoakiao, yang membahas perlawanan terhadap sentimen anti-Tionghoa yang tengah meningkat di masyarakat Indonesia pada masa itu. Entah karena apa, Pram kemudian diciduk oleh aparat, lebih spesifiknya oleh Angkatan Darat dan dijebloskan kedalam rumah tahanan militer selama 2 bulan.
Selepas dari penahanannya, Pram kemudian bekerja sebagai redaktur di Balai Pustaka Jakarta selama + 1 tahun. Kemudian tak lama setelah itu Pram menjadi anggota dan menjadi pimpinan pusat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dikenal sebagai lembaga kebudayaan berhaluan kiri, dan bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia pimpinan D.N Aidit. Di tahun 1962 selain masih tetap menduduki pimpinan pusat Lekra, iapun bekerja sebagai dosen sastra di Universitas Res Republika, dan menjadi dosen di Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai.
3 tahun kemudian, yaitu pada tanggal 13 Oktober 1965, dua pekan setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal Angkatan Darat, Pram kembali di tahan oleh aparat pemerintahan, dengan tuduhan mendukung pergerakan Partai Komunis Indonesia.
Dimulai dari peristiwa itu semua pihak yang diduga menjadi partisipan Partai Komunis Indonesia diburu, dibunuh atau dipenjara dengan tanpa melalui proses pengadilan. Pram sendiri ditahan di Rumah Tahanan Militer Tanggerang, lalu dipindahkan ke penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, kemudian berakhir di kamp. Konsentrasi pulau Buru, di Maluku.
Karena kejadian itu, beberapa proyek penulisan yang sedang disusun Pram akhirnya terbengkalai dan tak sedikit yang disita aparat. Seperti halnya ensiklopedia kebudayaan berjudul Citrawi Indonesia yang akhirnya tidak pernah selesai, dan bahkan dikabarkan roman Bumi Manusia pun pada awalnya ia susun murni sebagai buku sejarah, namun karena peristiwa itu, akhirnya ia mengubahnya menjadi karya rekaan.
Selama 10 tahun Pram menjadi tahanan politik di pulau buru, terhitung dari tahun 1969 sampai dengan tahun 1979. Selain tetralogi Bumi Manusia, dimasa serba susah inipun Pram tercatat berhasil menyusun berbagai karya lainnya, seperti Arus Balik, Arok Dedes, sebagian dari Ensiklopedi Citrawi Indonesia, dan Mata Pusaran.
Selama berada di pulau Buru, Pram tidak punya kebebasan dalam menulis. Oleh karena itu untuk terus menjaga ingatannya tentang beberapa proyek penulisan yang sedang ia garap, iapun menceritakan semua kisah tersebut secara lisan kepada kawan-kawan senasibnya. Pada tahun 1975 akhirnya Pram diizinkan menulis, namun dengan syarat tidak ada satupun naskah yang disebarluaskan dan jangan sampai mengandung hal-hal berbau provokatif.
Karena itulah, semua naskah yang umumnya menyampaikan semangat perlawanan itu ia sembunyikan, bahkan sampai ada yang disebembunyikan di atas septitank berlubang.
Pada tahun 1979, Pram di bebaskan dari Pulau Buru, dan status tahanannya diturunkan menjadi tahanan rumah, kemudian menjadi tahanan kota, dan akhirnya menjadi tahanan negara sampai dengan tahun 1999.
Bumi Manusia, dan Anak Semua Bangsa, terbit satu tahun setelah Pram keluar dari pulau Buru, yaitu pada tahun 1980, dan setahun setelahnya roman tersebut dilarang dan masuk kedalam daftar bacaan hitam oleh Kejaksaan Agung. Pelarangan tersebut berdasarkan pada dugaan muatan paham Marxisme-Leninisme, padahal yang disebut-sebut didalamnya hanyalah tentang nasionalisme.
Sebanyak 972 eksempelar dilaporkan berhasil disita oleh Kejaksaan Agung, dari sekitar 20.000 eksempelar buku yang beredar.
Diluar dari itu semua, melalui empat karyanya ini Pram mendapat apresiasi dan penghormatan di mata dunia internasional, dengan beragam bentuk penghargaan. Sampai dengan akhir hidupnya, Pram adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat pemenang nobel sastra.
R.M. Tirto Adhi Soerjo
![]() |
| Tirto Adhi Soerjo, Bumi Manusia |
Siapakah R.M Tirto Adhi Soerjo? Dia adalah pribumi asal Blora kelahiran 1880, pendiri surat kabar Medan Prijaji pada tahun 1907 di Bandung. Sebelum mendirikan Medan Prijaji R.M Tirto Adhi Soerjo tercatat pernah bersekolah di STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter, sekarang Fakultas Kedokteran UI) Batavia, namun tidak sampai selesai lantaran ia lebih tertarik pada dunia tulis menulis dan dunia pergerakan. Pendiri Syarikat Dagang Islamiyah di Buitenzorg/Bogor, salah satu organisasi serupa Syarikat Dagang Islam pimpinan H.Samanhudi di Surakarta.
Jika kita kembali ke Bumi Manusia, maka kita akan menemukan sosok Minke sang tokoh utama, yang diakui oleh Pram sendiri sebagai cerminan dari sosok R.M Tirto Adhi Soerjo.
Dari Batavia/Jakarta Tirto lalu pindah ke Bandung, menikah dan melanjutkan hidup di kota Priangan. Di Bandung, Tirto mendirikan beberapa surat kabar diantaranya Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Poetri Hindia (1908). Diantara ketiganya yang paling dikenal sebagai media perjuangan adalah Medan Prijaji.
Medan Prijaji adalah media yang dibentuk dan didirikan oleh pribumi, beberapa tulisan yang dimuat pun bernafaskan nafas pribumi. Tidak hanya pendirinya, peliput berita, dan pekerjanya pun berasal dari kalangan pribumi. Medan Prijajipun tercatat sebagai surat kabar pertama yang menggunakan bahasa ‘melayu pasar’(cikal bakal bahasa Indonesia) yang secara terang-terangan melawan kebiasaan dan melawan kebijakan pemerintah kolonial saat itu. Selain itu perlawanan yang ditujukan Medan Prijaji bisa dilihat dari penggunaan motto surat kabar yang tegas berbunyi “Orgaan Boeat Bangsa jang Terperintah di Hindia”, dan kita bisa melihat perbedaannya jika dibandingkan dengan motto surat kabar lain, misalnya Sinar Sumatra ”Kekallah Keradjaan Wolanda, Sampai Mati Setia Kepada Kerajaan Wolanda”.
Tirto nampaknya sadar bahwa media yang dibinanya merupakan corong senjata untuk menyuarakan kegelisahaannya terhadap sikap pemerintah kolonial. Melalui Medan Prijaji, Tirto mengkritik kebijakan pemerintah kolonial dan ikut andil menyadarkan anak bumiputra lain untuk melakukan perlawanan dengan cara yang sama. Kritikan-kritikan yang disuarakan Tirto biasanya dimuat dalam bentuk artikel ilmiah, seperti artikel berjudul Gerakan Bangsa Tjina di Soerabaya Melawan Handelsvereniging, dan Peladjaran Boeat Perempoean Boemipoetra, yang di muat pada tahun 1904, kemudian 6 tulisan ditahun 1909 Soeratnja Orang-orang Bapangan, Persdelict: Umpatan, Satoe Politik di Banjoemas, Drijfusiana di Madioen, Kekedjaman di Banten, Omong-omong di Hari Lebaran, dan dua tulisan lainnya yang dimuat tahun 1910, Apa jang Gubermen Kata dan Apa jang Gubermen Bikin, Oleh-oleh dari Tempat Pemboeangan.
Sebagai seorang penulis, Tirto adalah perintis budaya menulis politik dan kritik di dalam surat kabar Indonesia. Dia juga memandang perlunya bacaan bagi rakyat pribumi kecil, yang pro kepada kepentingan rakyat. Karenanya salah satu tulisan lainnya yang berjudul ‘Boycott’ akhirnya dijadikan senjata bagi orang-orang lemah untuk melawan para pemilik pabrik gula.
Karena ketajaman nalar dan goresan penanyalah, Tirto akhirnya menjadi orang yang dianggap mengancam kekuasaan kolonial. Tirto bersama surat kabarnya difitnah oleh agen kolonial, kemudian diseret ke pengadilan yang korup dan akhirnya Tirto diasingkan ke Ambon. Pada tahun 1914 Tirto kembali ke Batavia dengan pengawasan yang tetap dilakukan pihak kolonial. Semua surat kabarnya di berangus, Tirto jatuh miskin dan tetap menjadi tahanan rumah, dan tidak diperbolehkan bertemu dengan siapapun. Dalam kondisi masih seperti itu, pada tanggal 17 Agustus 1918 Tirto akhirnya menutup usia.
Pada tahun 1973, pemerintah Indonesia mengukuhkan R.M Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak Pers Nasional, dan kemudian pada tanggal 3 November 2006 ia mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Pramoedya sendiri dianggap sebagai orang yang berjasa memopulerkan sosok R.M Tirto Adhi Soerjo. Selain dalam roman tetralogi Pulau Buru, sosok R.M Tirto Adhi Soerjo lebih rinci dijelaskan Pram dalam bukunya yang berjudul ‘Sang Pemula’.
Dalam kisah Bumi Manusia, Minke dan R.M Tirto Adhi Soerjo mempunayi sifat dan karakter yang bisa dibilang mirip, namun tidak identik. Pram sendiri menegaskan bahwa roman Bumi Manusia tetap harus dibaca sebagai karya fiksi, bukan sebagai buku sejarah. Oleh karena itu, tokoh utama dalam kisah ini bukanlah Tirto, melainkan Minke sebagai tokoh rekaan yang bersumberkan sejarah.
Multatuli, Eduard Douwes Dekker
![]() |
| Multatuli, Bumi Manusia |
Kisah Minke berlangsung pada kisaran tahun 1898-1918, dimana politik balas budi yang digalakan pihak kolonial sedang mencapai puncaknya.
Politik etis, atau politik balas budi merupakan sebuah kebijakan yang langsung ditentukan pihak kerajaan Belanda setelah mengetahui kondisi tanah koloninya di negeri Hindia. Indonesia atau Hindia pada saat itu memang tidak langsung dipegang oleh pihak kerajaan, melainkan oleh pihak ketiga dengan mengantongi izin dan hak khusus dari kerajaan. Pihak ketiga itu merupakan perusahaan dagang swasta yang lebih dikenal dengan nama VOC.
Kebusukan perilaku wakil kerajaan tersebut pada awalnya tidak terlalu dipedulikan oleh pihak kerajaan. Namun setelah berjalannya waktu dan ketika paham akan moralitas kemanusiaan di Eropa mulai berkembang, kebusukan itupun akhirnya mulai diperhatikan kerajaan lebih khusus oleh masyarakat umum Belanda. Aib itu pada awalnya dibuka oleh sebuah novel terbitan Belanda yang menceritakan kondisi carut marutnya negeri Hindia berjudul “Max Havelaar, of de Koffijveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappj” (Max Havelaar, Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda), karya Multatuli, atau Eduard Douwes Dekker.
Pada tahun 1838 Dekker yang merupakan putra Belanda pergi ke Hindia, ke tanah Jawa untuk bekerja sebagai pegawai negeri di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tak lama di Batavia, ia kemudian ditugaskan di daerah Lebak, Banten, sebagai asisten residen. Di Lebak Banten inilah Dekker menyaksikan ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsanya, berkenaan dengan pelaksanaan program ‘Kerja Paksa’. Dekker melihat rakyat diperas dan dipaksa menanam komoditi yang sudah ditentukan pihak koloni tanpa imbalan yang setimpal.
Selain itu kesabaran Dekker akhirnya pecah, ketika melihat pihak kedua penguasa feodal, yakni Bupati Lebak sendiri yang nota bene seorang Pribumi ternyata ikut andil memeras rakyat. Semua itu menurutnya sangat bertentangan dengan moral Eropa yang menempatkan manusia diatas segala-galanya.
Semua kejadian itu kemudian ia adukan kepada atasannya, berharap bahwa apa yang disaksikannya adalah kekeliruan dalam penerapan kebijakan. Namun, sang atasan ternyata tidak menggubrisnya, dan bahkan khusus pada sikap Bupati sang atasan malah memihak penuh Bupati. Karena sikapnya yang tidak setuju dengan kebijakan koloni, akhirnya Dekker dipecat. Selama 6 tahun Dekker tercatat berada di Hindia, dengan berpindah-pindah tempat tinggal, kemudian bersama kisah hidup yang didapatnya dari Hindia akhirnya iapun kembali ke Belanda.
Eduard Douwes Dekker lalu menyusun perjalanan hidupnya di negeri Hindia itu kedalam sebuah buku karangan berjudul Max Havelaar. Ia kemudian menggunakan nama samaran Multatuli yang diambil dari bahasa latin, berarti ‘Banyak yang Sudah Aku Derita’. Dalam bukunya itu Dekker menyuarakan keadilan dan kemanusiaan, bahwa sebagai pihak yang sudah ditolong oleh rakyat Hindia alangkah bijaknya Belanda membalas pertolongan tersebut dengan tidak membiarkan rakyat Hindia hidup dalam ketidaktahuan dan kebodohan.
Pada 14 Mei 1860, Max Havelaar lalu terbit, kemudian terjadilah kehebohan di negeri kincir angin itu. Belanda terpecah menjadi dua golongan, yang menuntut perbaikan ditanah Hindia, dan yang menuntut pemboykotan novel Max Havelaar. Golongan pertama akhirnya keluar sebagai pemenang, Hindia akhirnya mendapat perhatian lebih dari kerajaan dengan dikeluarkannya kebijakan politik etis yang disampaikan langsung oleh Ratu Wilhelmina dalam program Trias van Deventer, 1). Irigasi (pengairan), 2). Imigrasi (penyebaran penduduk), dan 3). Edukasi (pendidikan).
Dari program politik etis inilah kemudian pihak koloni mulai merevitalisasi Hindia, terlebih dibidang edukasi. Sekolah-sekolah dan badan pendidikan mulai didirikan, seperti HBS di Surabaya, dan STOVIA di Batavia. Demi mempertahankan pengaruh koloninya, maka pihak yang mendapat pendidikan diawal penerapan hanya dari kalangan kaum elit pribumi saja, namun karena setitik bunga api tersebut pada akhirnya perlahan membesar, menjalar dan menyadarkan para bumiputra akan perkembangan dunia luar, serta menyadarkan akan posisi mereka di percaturan dunia.
Dalam terjemahan buku Max Havelaar, yang dialih bahasakan oleh H.B Jassin, Pram di lembar kata pengantar berpendapat, bahwa novel karya Multatuli ini pada akhirnya merupakan novel yang membunuh kolonialisme.
Berdasarkan pengakuannya sendiri Pram menempatkan Multatuli/Dekker setara dengan R.M Tirto Adhi Soerjo. Dalam Bumi Manusia, dikisahkan Minke adalah sosok terpelajar yang amat mengidolakan pemikiran Multatuli, bahkan pada roman bagian ke-2 Anak Semua Bangsa terbitan Hasta Mitra tahun 1981, Pram menegaskan lewat dialog tokoh Ter Haar, rekan Minke yang mengatakan “kan Tuan menggunakan nama Max Tollenaar untuk mendekati karya MultatulI Max Havelaar? Dari situ orang dapat mengetahui Tuan anak rohani Multatuli. Kemanusiaan Tuan kuat”.
“Walaupun saya tidak suka gaya (menulis) nya, saya amat menyukai Multatuli karena rasa Humanisnya tapa kompromi apapun. Dia itu tipikal Hollander. Kalau dia menulis pada abad ini, efek karyanya pasti lebih dahsyat” pendapat Pram terhadap sosok Multatuli.
Menuju Bagian Dua
Selain tokoh-tokoh diatas, ada beberapa tokoh lagi yang nampaknya sangat berpengaruh dalam perkembangan Bumi Manusia. Mereka semua akan di bahas pada bagian kedua.
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri” – Nyai Ontosoroh kepada Minke.
______
Penulis : Ibnu Kar’an
Editor : Dede Rudiansah



Post a Comment