Analisis
Analisis Drama
Drama
Naskah drama Fajar Siddiq dapat anda unduh disini
Fajar Siddiq, Emil Sanossa Analisis Unsur Intrinsik Naskah Drama
![]() |
| Naskah Drama Fajar Siddiq, Emil Sanossa |
NASKAH DRAMA
Judul naskah : FAJAR SIDDIQ
Karya : EMIL SANOSSA
Tokoh : MARJOSO sebagai Pimpinan Pasukan Gerilya
SERSAN sebagai Sersan/Bawahan Pimpinan Pasukan Gerilya
AHMAD sebagai Terdakwa Kasus Pengkhianatan
H. JAMIL sebagai Ayah dari Ahmad dan Guru dari Marjoso
ZULAECHA sebagai Adik dari Ahmad
Sebuah markas gerilya, terlihat sebuah ruangan, satu pintu, satu jendela sel, meja tulis dan dua kursi dan satu bangku, peti mesiu, helm dan ransel tergantung. Suasana: malam hari, keadaan sepi, tegang, jauh-jauh masih terdengar letusan tembakan dan iring musik sayup-sayup instrumental Gugur Bunga, kemudian muncul Marjoso membawa surat, kemudian duduk membaca. Muncul seorang sersan... | |||
SINOPSIS
Ahmad menjadi terdakwa setelah terbukti mengkhianati pasukan gerilya. Ahmad memang telah membocorkan tempat persembunyian pasukan gerilya ketika mereka sedang di buru oleh pasukan Belanda. Pondok pesantren yang menjadi tempat persembunyian itupun akhirnya dibakar dan dibumi hanguskan oleh Belanda. Namun karena Ahmad adalah putra dari pemilik pondok pesantren, maka pimpinan prajurit gerilya, Marjoso memberikannya kesempatan untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya terlebih dahulu kepada sang Ayah, Haji Jamil, sebelum eksekusi mati sebagai penghianat revolusi dilaksanakan.
Jelas Haji Jamil tidak mudah memaafkan perbuatan Anaknya tersebut, apalagi setelah mengetahui alasan sang Anak, yaitu karena dendam untuk membalaskan kematian sang Ibu.
Fakta bahwa Ahmad adalah darah daging Haji Jamil, dan fakta bahwa penyebab dibakarnya pondok pesantren Haji Jamil adalah Ahmad, menciptakan emosi Haji Jamil sangat tak bersahabat. Ucapan-ucapan bahwa Ahmad lebih baik digantung, dan ucapan bahwa dia bukanlah anaknya, mewarnai tengah malam di markas prajurit gerilya itu.
Semua itu sedikit mereda ketika Zulaecha, adik Ahmad datang dan menenangkan sang Ayah. Zulaecha menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan sang kakak patut diberikan ampunan, dan patut ditarik dari ancaman eksekusi mati.
Namun sebagai orang yang mendukung kemerdekaan Bangsa, Haji Jamil sangat paham bahwa konsep kemerdekaan haruslah berlandas pada keadilan. Konsep kemerdekaan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan meminggirkan kepentingan pribadi, seperti yang dikatakan Marjoso bahwa revolusi yang dimaksud adalah dimana semua orang melebur dan tidak membeda-bedakan siapa orang tua siapa saudara, bahwa keadilan dalam bentuk apapun wajib tidak memandang bulu. Oleh karena itu akhirnya ia rela menekan perasaannya dan rela melepaskan putra yang ia titipkan segala harap dan cita-citanya itu, demi tercapainya sebuah kemerdekaan yang berkeadilan.
Ahmad pun memohon maaf dan mengakui kesalahannya kepada sang Ayah, mengakui bahwa dendam telah membutakan hati dan pikirannya. Ketika fajar tiba dan waktu eksekusi pun telah datang, Ahmad keluar menuju tempat eksekusi kemudian terdengar tiga kali letupan senapan. Haji Jamil yang telah memenangkan pergulatan hatinya sambil meneteskan air mata, berucap “Tuhanku, inilah pertanda datangnya fajar kemenangan. Kemerdekaan bangsa dan negaraku”.
TEMA
Drama Fajar Siddiq karya Emil Sannosa ini berkisah tentang sebuah tragedi balas dendam dengan menyinggung konsep keadilan dilematis yang menimpa para pejuang kemerdekaan, antara mereka yang idealis yang memikirkan kepentingan bersama dengan mereka yang realis yang memikirkan kepentingan pribadi.
Balas dendam yang dilakukan Ahmad akhirnya merembet kesegala peristiwa dan membuka kebenaran-kebanaran yang awalnya sempat tertutup. Konsep awal penceritaannya tentang pembalasan dendam sedikit sederhana namun akhirnya berjalan kompleks, didukung dengan penggambaran konflik batin yang dirasakan tiap tokohnya, dan penggambaran latar belakang tokoh yang memengaruhi setiap keputusan dan tindak tanduknya..
TOKOH DAN PERWATAKAN
1. Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis atau tokoh yang menjadi pusat cerita pada drama ini adalah Ahmad. Ahmad merupakan tokoh yang mencoba membalaskan kematian Ibunya yang berakhir ditangan temannya sendiri, Marjoso, namun tekad balas dendamnya itu berakhir gagal. Kisah Fajar Siddiq ini berlangsung di satu tempat dan berjalan dengan latar waktu semalam. Oleh karena itu drama ini bisa dibilang berlangsung singkat, dan akhirnya sosok tokoh protagonis inipun tidak selalu ditampilkan. Tokoh Ahmad tercatat hanya tampil dibagian awal cerita dan akhir cerita, dan selebihnya terus digambarkan melalui penjelasan dialog para tokoh lain.
Perwatakan tokoh Ahmad secara umum adalah realis dan pendendam. Ahmad seakan-akan menolak gagasan sang Ayah dan temannya Marjoso yang menempatkan kemerdekaan bangsa diatas segala-galanya, yang akhirnya meminggirkan kepentingan dan kebutuhan pribadi demi mewujudkan cita-cita yang nampaknya amat terlalu tinggi untuk diwujudkan. Selain itu secara spesifiknya karakter Ahmad diawal kisah adalah tegas namun cenderung keras kepala, nampak seperti tak mau mendengarkan dan acuh tak acuh ketika sedang menghadapi segala tekanan yang dilakukan Marjoso, perhatikan penggalan dialog Ahmad dengan Marjoso no. 26 sampai no. 36 dibawah ini.
26. | AHMAD | : | (tersenyum dingin) Tidakkah kau tahu, bahwa antara anak dan orang tuanya senantiasa terjalin ikatan yang tak terputuskan? |
27. | MARJOSO | : | Jangan kau coba mengelak, Ahmad! |
28. | AHMAD | : | (menegaskan suaranya) Aku ingin menjumpai ayah dan adikku Zulaecha. |
29. | MARJOSO | : | Tahukah kau tempatnya? |
30. | AHMAD | : | Tidak. |
31. | MARJOSO | : | Dari mana kau tahu kalau ayah dan adikmu di sini? |
32. | AHMAD | : | Dari orang-orang yang pernah datang kemari. |
33. | MARJOSO | : | Hmmmmm. Sebelum tertangkap kau sudah lebih kurang tiga hari berkeliaran di daerah ini, bukan? |
34. | AHMAD | : | Tidak! Tepat pada waktu aku sampai, aku terus ditangkap. |
35. | MARJOSO | : | Jangan bohong, Ahmad! |
36. | AHMAD | : | Aku tidak bohong. |
Ahmad seperti sedang mempermainkan Marjoso dengan beberapa kali melontarkan pernyataan yang nampak mengandung kebohongan. Namun mendekati bagian akhir Ahmad mulai membuka diri dan mulai mendengarkan-memahami keadaan yang sebenarnya sedang dihadapi oleh kawannya tersebut.
Dibagian akhir, Ahmad nampak mulai sadar setelah mengetahui bahwa karena ulahnya itu orang tua Marjoso ikut ditangkap dan diintrogasi sampai menemui ajalnya. Pada saat itu Ahmad nampak menyesali semua perbuatannya, bahwa dendam yang menjadi supply kekuatannya selama ini telah membutakan hati dan pikirannya. Perhatikan perubahan karakter Ahmad pada dialog no. 229 sampai no. 238 dibawah.
229. | AHMAD | : | (meludah benci) Di mataku engkau tak berharga sedikitpun, Marjoso. |
230. | HAJI JAMIL | : | Ahmad! |
231. | AHMAD | : | Ayah akan membela dia? |
232. | HAJI JAMIL | : | Ya. Ayah akan membela dia, lantaran dia benar. |
233. | MARJOSO | : | Engkau selalu membawa soal ibumu, baik, Ahmad! Siapa yang telah menunjukkan tempat persembunyian kedua orang tuaku? Siapa yang telah menyuruh mereka untuk menjebakku? Jawab! Siapa? |
234. | AHMAD | : | (tegas) Aku! |
235. | HAJI JAMIL | : | Oh, Ahmad, di mana lagi hatimu? |
236. | MARJOSO | : | Tapi kau tak berhasil menjebak aku, namun kedua orang tuaku ditangkap dan mereka tak ada lagi kini. Mereka mangkat akibat siksaan-siksaan yang keji. |
237. | AHMAD | : | (gemetar) Tidak! ............... Tidak! .............. |
238. | MARJOSO | : | Mengapa tidak? Mereka adalah korbanmu. Sekarang apa maumu? Kau memburu aku? Korban berjatuhan karena dendammu, kini kau berhadapan dengan aku (mengambil pistol dari meja) Ini ada sepucuk pistol untuk kau pakai menghabisi musuhmu. Terimalah! (melempar pistol itu ke hadapan Ahmad, dan Ahmad menerimanya, kemudian Marjoso mencabut pistolnya sendiri) Marilah kita habisi dendam di antara kia. (Ahmad diam terpaku, pistol di tangan belum diapa-apakan, Marjoso bergerak menjauh. Haji Jamil terpaku tapi tak segera menengahi keduanya) |
Ketika waktu eksekusi telah datang, Ahmad sambil mencucurkan air mata tanda penyesalan, sempat menyampaikan pesan kepada Ayahnya untuk adiknya Zulaecha. “Ayah, sampaikan salamku padanya... Agar ia tetap menjadi patriot bangsa dan pembela tanah air mengikuti jejak ayahnya”. Dialog itu pertanda bahwa Ahmad sudah benar-benar berubah.
2. Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis adalah tokoh yang menghalangi tujuan atau perjalanan cerita sang tokoh protagonis, jadi jelas antara protagonis dan antagonis lepas dari penggolongan sifat karakteristik baik dan tidak baik (Protagonis bisa saja jahat begitupun sebaliknya). Oleh karena itu tokoh yang menghalangi atau meng-konfrontasi Ahmad adalah Marjoso dan Haji Jamil. Mereka berdua menentang perbuatan yang dilakukan Ahmad karena secara tak langsung telah membantu Belanda, dalam pembakaran pondok pesantren tempat dimana prajurit gerilya bersembunyi.
Kedua tokoh ini nampak mendominasi kemunculan dalam seluruh penceritaan. Banyak obrolan antara Marjoso dan Haji Jamil berlangsung di meja kerja Marjoso (atau mungkin meja di ruang introgasi) yang membahas tentang tindakan Ahmad.
Walaupun keduanya berada pada klasifikasi tokoh antagonis, jika berbicara mengenai karakter/perwatakan antara Marjoso dan Haji Jamil jelaslah berbeda.
Karakter Marjoso secara umum adalah idealis dan tegas. Nampak dari sikapnya ketika berhadapan dengan Ahmad yang selalu membicarakan kematian sang Ibu. Karakter Marjoso dapat dikatakan tidak terlalu berubah-ubah, dan cenderung stagnan tegas. Perubahan karakter yang paling nampak pada tokoh Marjoso adalah ketika ia memberitahukan kematian kedua orangtuanya kepada Ahmad dan Haji Jamil, yang sebab kematiannya karena siksaan Belanda setelah tempat persembunyian kedua orang tua Marjoso ikut dibocorkan oleh Ahmad. Pada saat itu Marjoso nampak terbawa emosi dan lepas kontrol, perwujudan perubahan sikapnya itu digambarkan dengan adegan menyerahkan sebuah pistol kepada Ahmad untuk saling menyelesaikan semua perkara itu dengan cara saling tembak. Akan tetapi perubahan karakter itu masih tetap dipengaruhi karakter dasarnya yaitu idealis dan tegas, perhatikan dialog Marjoso no. 238 sampai no. 242
238. | MARJOSO | : | Mengapa tidak? Mereka adalah korbanmu. Sekarang apa maumu? Kau memburu aku? Korban berjatuhan karena dendammu, kini kau berhadapan dengan aku (mengambil pistol dari meja) Ini ada sepucuk pistol untuk kau pakai menghabisi musuhmu. Terimalah! (melempar pistol itu ke hadapan Ahmad, dan Ahmad menerimanya, kemudian Marjoso mencabut pistolnya sendiri) Marilah kita habisi dendam di antara kia. (Ahmad diam terpaku, pistol di tangan belum diapa-apakan, Marjoso bergerak menjauh. Haji Jamil terpaku tapi tak segera menengahi keduanya) |
239. | HAJI JAMIL | : | Jangan! Jangan kalian saling membunuh. Kalian bersaudara, kalian adalah anakku. |
240. | MARJOSO | : | Kalau aku harus mati lantaran pelurunya, Pak Kyai, aku harus ikhlas mati untuk meyakinkan dia dan orang-orang seperti dia, bahwa dalam perjuangan ini tidak harus diperhitungkan untung rugi perseorangan. Aku ikhlas mati untuk meyakinkan semua orang, bahwa sebab yang akan menggagalkan revolusi ini ialah, manakala orang masih tidak meleburkan dirinya sendiri ke dalam leburan yang tidak lagi mengenal siapa ayah, siapa ibu, dan siapa itu saudara. |
241. | HAJI JAMIL | : | Marjoso, anakku, kau tidak boleh mengorbankan diri untuk manusia yang begini rendahnya. |
242. | MARJOSO | : | Korban telah cukup banyak, Kyai. Seorang demi seorang kawan-kawan gugur lantaran soal dendam-mendendam ini. Aku merasa ikut bersalah juga Kyai (keterangan ini meliputi ketiga orang itu) (Ahmad tampak tak dapat menguasai dirinya, Marjoso mengangkat pistolnya, Haji Jamil memalingkan muka, sedih, dan putus asa dalam kecemasan) Angkat pistolmu agar kau mati dengan tidak membawa dendam ke dalam kubur. Aku akan menghitung sampai tiga kali, maka tembaklah aku dan aku akan menembakmu. (Ahmad tidak menjawab, ia mengangkat pistolnya tapi jelas tangannya mulai gemetar. Marjoso menatapinya dengan tenang. Jarak mereka kira-kira empat langkah dipisahkan oleh meja, Haji Jamil berdiri di tengah-tengahnya) |
Sedangkan tokoh Haji Jamil, secara umum berkarakter tegas dan keras. Jika diamati dari awal sampai akhir cerita perkembangan karakter Haji Jamil bisa dijelaskan sebagai berikut; pada bagian awal tokoh Haji Jamil digambarkan sebagai orang dengan karakter atau watak yang keras, ia jelas-jelas membenci Ahmad, dan tak segan mengatakan bahwa Ahmad bukanlah anaknya, perhatikan dialog Haji Jamil no. 84 sampai no. 88
84. | HAJI JAMIL | : | Terlalu terhormat kalau dia di tembak. Seharusnya dia digantung. |
85. | MARJOSO | : | Silakan bapak duduk. Saya ingin mendengarkan pertimbangan-pertimbangan bapak. |
86. | HAJI JAMIL | : | Pertimbangan apa? Ragukah kau menggantung dia? |
87. | MARJOSO | : | Bukan begitu, bapak. Ahmad sudah terang bersalah. Dan dia harus menerima hukumannya. Namun, pada saat-saat terakhir, karena bapak adalah ayahnya, saya juga perlu mendatangkan bapak kemari. |
88. | HAJI JAMIL | : | Dia bukan anakku. Haji Jamil tidak mempunyai anak pengkhianat. |
Pada bagian tengah cerita yaitu ketika Zulaecha menghampiri Haji Jamil, karakter Haji Jamil berangsur berubah tenang walau tetap menggambarkan kekecewaannya terhadap Ahmad. Perhatikan dialog Haji Jamil dengan Zulaecha no.157 sampai no. 161
157. | ZULAECHA | : | (terdiam sejurus) Ayah, kalau seorang datang kepadamu menyatakan taubatnya dan memintakan perlindunganmu ........ apa yang akan ayah perbuat? |
158. | HAJI JAMIL | : | Aku doakan agar ia diterima taubatnya oleh Allah SWT. Aku tidak punya hak untuk melindungi orang yang telah banyak dosa. |
159. | ZULAECHA | : | Ayah, nabipun tak pernah membunuh orang yang telah mencoba akan membunuhnya. |
160. | HAJI JAMIL | : | Aku bukan nabi! |
161. | ZULAECHA | : | Tapi kita wajib mengikuti sunnah nabi! Bukankah begitu, Ayah? |
Sedangkan diakhir cerita Haji Jamil mulai nampak merelakan semua kejadian yang sudah berlalu, iapun menerima permintaan maaf Ahmad, dan kembali mengakuinya sebagai darah dagingnya, perhatikan penggalan dialog Haji Jamil no. 247 dibawah ini.
247. | HAJI JAMIL | : | (menggeletar) Aku serahkan engkau kepada Tuhan. Semoga Tuhan mengampuni engkau, aku ampuni dosamu kepadaku, tetapi dosamu terhadap orang lain pertanggungjawabkan sendiri terhadap Tuhanmu. Engkau anakku. Matilah engkau sebagai anakku! Sebagai seorang muslim yang mengerti arti taubat, janganlah engkau menangis karena sedih akan berpisah dengan aku, tetapi menangislah karena telah terlalu banyak berbuat dosa! |
3. Tokoh Tritagonis
Tokoh tritagonis atau tokoh sampingan yang ikut menaik-rendahkan konflik pada kisah drama Fajar Siddiq ini adalah Zulaecha. Tokoh Zulaecha beberapa kali ikut memengaruhi tokoh Haji Jamil, sampai pertentangan yang semula terjadi dalam diri Haji Jamil mereda. Selain Haji Jamil tokoh yang ikut dipengaruhi olehnya yaitu tokoh Marjoso. Seperti Ahmad, tokoh Zulaecha selalu membicarakan perihal kematian Ibunya yang tewas ditangan Marjoso, itu ibarat senjata yang terus digunakan Zulaecha dalam pembelaannya terhadap sang Kakak. Disisi lain hal itu kemudian memicu Marjoso untuk menceritakan nasib kedua orangtuanya yang tewas karena Ahmad. Pada kemunculannya di pertengahan kisah tokoh Zulaecha nampak hanya berfungsi sebagai pemicu emosi Marjoso saja.
Berkenaan karakter, tokoh Zulaecha tidak terlalu berbeda dengan tokoh Ahmad, dan secara spesifiknya tokoh Zulaecha cenderung lebih emosional. Perhatikan dialog Zualaecha no. 200 sampai 206
200. | ZULAECHA | : | (tak terkendalikan lagi, marahnya memuncak) Kau pembunuh! Pembunuh! Engkau membunuh ibuku! Dan kini kau akan membunuh abangku, dua orang yang paling kucintai. Tapi tunggu, Marjoso! Ibu masih mempunyai anak satu orang lagi. |
201. | HAJI JAMIL | : | (mengatasi anaknya) Zulaecha, engkau akan menjadi pengkhianat seperti abangmu? |
202. | ZULAECHA | : | (tersedu-sedu) Aku tak rela, Ayah ........Aku tak rela. |
203. | HAJI JAMIL | : | (menenangkan) ............. Diamlah, Anakku, ........ Diamlah. |
204. | MARJOSO | : | (penuh perasaan) Apalah artinya korban satu atau dua jiwa yang kita cintai untuk perjuangan suci ini? |
205. | HAJI JAMIL | : | Marjoso, maafkan adikmu, Nak! |
206. | ZULAECHA | : | (bangkit dari isakannya dan mengancam) Tidak! Aku tidak perlu meminta ampun kepada pembunuh. |
4. Tokoh Pembantu
Tokoh pembantu dalam drama Fajar Siddiq ini adalah sersan, yang kemunculannya di bagian awal cerita dan sebagian di akhir cerita. Tokoh ini tidak terlalu memengaruhi jalan cerita dan konflik yang ada dalam cerita namun keberadaannya membantu merealisasikan dan memaksimalkan tokoh Marjoso sebagai pimpinan prajurit gerilya.
KONFLIK
Dalam membahas konflik atau permasalahan tentu akan menyinggung perihal idealisme dan realisme karena sejatinya kedua hal itulah yang menjadi akar semua konflik, bahwa setiap ingin/prinsip, harapan, atau cita-cita yang ideal akan mejadi masalah ketika berbenturan dengan realita yang tidak sesuai dengan harapan. Pada pembahasan kali ini konflik akan dikelompokan kedalam2 bentuk konflik, konflik secara umum dan konflik secara khusus. Konflik secara umum adalah konflik utama yang berlangsung di sepanjang cerita. Sedangkan konflik khusus yaitu konflik yang ada di dalam diri tokoh masing-masing.
1. Konflik Secara Umum
Secara umum konflik yang ada pada kisah Fajar Siddiq adalah konflik antara pemikiran bahwa kemerdekaan bangsa tetap harus memikirkan kehidupan pribadi, bertentangan dengan pemikiran bahwa kemerdekaan itu harus diraih dengan cara apapun walau itu harus mengorbankan kehidupan atau dunia pribadi.
2. Konflik Secara Khusus
a) Konflik Ahmad
Sebagai tokoh protagonis Ahmad mempunyai konflik di dalam dirinya yaitu berkenaan tentang prinsipnya yang berbenturan dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa kemerdekaan bangsa harus di raih melalui cara apapun. Selain itu pertentangan yang terjadi dalam tokoh Ahmad yaitu ketika berhadapan dengan tokoh Marjoso, di bagian akhir kisah, Ahmad baru mengetahui bahwa perbuatannya itu telah ikut membunuh kedua orang tua Marjoso, dan jika dihitung dalam persfektif dendam sudah tentu yang mestinya mengobarkan perdendaman adalah Marjoso, Marjoso membunuh Ibu Ahmad, sedangkan Ahmad membunuh Ibu dan Ayah Marjoso. Ahmad merasa bersalah namun tetap ingatan dimana ibunya tewas karena timah panas Marjoso secara langsung tidak pernah lepas dari benaknya.
b) Konflik Marjoso
Tokoh Marjoso tidak terlalu nampak menggambarkan konflik di dalam dirinya kecuali konflik permukaan bahwa dia adalah pimpinan prajurit gerilya yang mesti mengeksekusi temannya sendiri. Alasan kenapa konflik yang ada dalam diri Marjoso tidak terlalu terlihat adalah karena tokoh Marjoso merupakan sosok tentara pada umumnya yang digambarkan mempunyai sikap yang datar.
c) Konflik Haji Jamil
Sebagai tokoh yang cukup sentral dalam cerita karena menjadi sidekick atau pendamping yang memberikan pengaruh utama bagi tokoh protagonis, Haji Jamil mempunyai konflik yang bisa dibilang cukup kompleks dalam dirinya. Haji Jamil menghadapi pertentangan bahwa ternyata yang (secara tak langsung) menjadi dalang pembakaran pondok pesantren yang menewaskan para santri dan prajurit gerilya itu adalah putranya sendiri.
Dunia atau tempat dimana ia sendiri mendidik dan mengajarkan arti kemerdekaan bangsa ternyata hancur lewat penghianatan Ahmad, putra yang menjadi tumpuan untuk menjaga dan meneruskan dunia itu.
Selain itu konflik yang terjadi pada diri Haji Jamil yaitu ketika ia dihadapkan pada argumen bahwa Ahmad adalah putra dan darah dagingnya yang sebagai manusia pasti melakukan kesalahan dan mestinya bisa di selamatkan dari eksekusi (dialog Zulaecha), dan argumen bahwa sebagai seorang Ayah mesti membela anaknya bagaimanpun itu keadaannya (dialog Ahmad). Namun Haji Jamil menegaskan ia ingin bangsa ini merdeka dan kemerdekaan sejati itu mesti didasari pada keadilan yang benar, dimana hukum haram memandang bulu.
ALUR/PLOT
Jalan cerita atau alur/plot pada drama Fajar Siddiq adalah jalan cerita/alur yang konvensional, dimana tahapan-tahapan cerita berjalan secara kronologis dari awal sampai akhir tanpa ada lompatan-lompatan cerita, misal dari titik cerita C lalu lompat ke titik cerita A. Oleh karena itu gambaran cerita Fajar Siddiq secara umum dapat dengan mudah diikuti, lebih lagi dari penggunaan latar tempat yang minimalis dan penggunaan latar waktu yang singkat dapat menambah kemudahan dalam mengikuti alur cerita di dalamnya.
1. Perkenalan/Eksposisi
Tahap ini dimulai ketika seorang berpakaian prajurit ditanya oleh seseorang yang nampaknya berpangkat lebih tinggi darinya. Dia yang berpakaian prajuti menjelaskan bahwa seorang tahanan yang sedang ditahan di markas mereka sudah ditetapkan sebagai penghianat revolusi dan mesti dihukum mati esok hari. Namun dia yang berpakaian prajutit itu nampak ragu dan tiba-tiba berhenti tidak melanjutkan kata-katanya, dengan cepat pria yang menjadi lawan bicaranya itu berkata, ‘kau khawatir karena dia kawanku begitu?’.
Bagian ini secara langsung mulai memperkenalkan konflik atau permasalahan yang ada dalam cerita dengan ungkapan nada yang cenderung langsung meninggi. Mungkin alasannya adalah karena jalan cerita di dalamnya pun cenderung singkat, jadi langsung dimulai dengan ritme kejut yang langsung meninggi. Pada tahap perkenalan kita sudah disuguhkan dengan apa yang akan menjadi potensi permasalahan dalam cerita yaitu berkenaan dengan hukuman mati yang akan diterima dan dijatuhkan oleh sepasang sahabat.
Sedangkan pengenalan nama tokoh-tokohnya berlangsung secara mengalir yaitu dalam dialog-dialog tokoh-tokohnya (maksudnya tidak diutarakan secara langsung oleh para tokohnya/monolog). Perhatikan dialog Marjoso no.25 ketika ia untuk pertama kalinya menyebutkan bahwa tahanan yang dimaksudnya dari awal bernama Ahmad.
25. | MARJOSO | : | Dengan maksud apa kau kemari? (Ahmad membisu) Jawab Ahmad! Hanya itu yang ingin kutanyakan. Aku tidak ingin menanyakan tentang apa-apa yang telah kau perbuat. Aku tidak ingin menanyakan berapa jumlah prajuritku yang gugur terjebak tipu dayamu... Jawablah! |
Berbeda dengan Ahmad tokoh Marjoso (seseorang yang nampaknya berpangkat lebih tinggi dari orang yang berpakaian prajurit) yang nota bene sudah diperkenalkan dari awal cerita baru di sebutkan namanya pada dialog no.78, oleh tokoh Ahmad.
78. | AHMAD | : | (mengangkat mukanya perlahan-lahan) Aku telah mengangkat mukaku, Marjoso. Aku telah mengangkat mukaku, seperti dulu, tatkala kudengar serentetan tembakan. Dan kemudian rubuhlah ibuku... Mati. Aku telah mengangkat mukaku. Marjoso. |
Sebenarnya secara umum penyebutan nama bagi para tokoh drama dapat dibilang tidak terlalu penting karena memang sudah jelas setiap tokoh drama mempunyai karakteristik luar, penampilan, dan sikap yang khas, yang tentunya menjadi pembeda. Namun penyebutan nama pada tokoh menjadi penting ketika berhubungan dengan para tokoh utama (protagonis dan antagonis). Alasannya adalah karena pusat penceritaan akan terus berputar diantara tokoh-tokoh utama, dan itu perlu untuk menambah pemahaman yang lebih efektif terhadap penonton, dimana hasil akhir dari sebuah naskah drama adalah untuk dipentaskan.
2. Insiden Permulaan
Insiden permulaan adalah perkara/peristiwa yang memicu terjadinya konflik utama didalam cerita. Peristiwa ini terjadi ketika tokoh Ahmad menyinggung kematian Ibunya didepan Marjoso, sebagai alasan kenapa Ahmad membocorkan persembunyian prajurit gerilya di pondok pesantren. Perhatikan dialog Ahmad dibawah ini, ia memulai benih konflik yang awalnya berupa konflik formal berubah menjadi konflik pribadi ketika menyinggung perihal kematian sang Ibu.
70. | AHMAD | : | Tidak! Tidak... aku tidak membakarnya. |
71. | MARJOSO | : | (mengatasi suara Ahmad) Engkau tak membakarnya. Tapi engkau biang keladi yang menyebabkan pesantren itu terbakar. Pesantren yang mewarisi tradisi turun-temurun. Mulai dari buyutmu, kakek-kakekmu sampai ke ayahmu. Pesantren tempat ayahmu menempa pemuda-pemuda yang bertanggung jawab akan hari depan agama dan tanah airnya, bangsanya. Ahmad... engkau tidak menyesali semua itu? (terdiam sebentar-sebentar menarik nafas). Oh, Ahmad, tidakkah engkau takut akan siksa Tuhanmu? Bagaimana kelak dosamu akana membakar dirimu? |
72. | AHMAD | : | Itu tanggunganku. Resiko! |
73. | MARJOSO | : | (ke depan) Oooooooo, jiwa yang tak lebih berharga dari pada jiwa seekor anjing. Berapa banyaknya air mata yang harus dicucurkan para ibu untuk mengenang murid-murid ayahmu yang hangus terbakar bersama pesantren yang dicintainya, Ahmad. |
74. | AHMAD | : | (tegas) Tapi, siapakah yang akan mencucurkan untuk rubuhnya ibuku? Siapa yang suka berkata: ”Akan kutuntut kematian ini!” Siapa yang akan membalas dendamnya? |
75. | MARJOSO | : | Diam kau! (Ahmad tertunduk). Angkat mukamu, pengkhianat! Pandanglah aku untuk kali yang penghabisan. Karena malam ini juga rakyat menuntut darahmu. |
Dialog Ahmad pada no.74 kemudian langsung direspon dengan cepat oleh Marjoso, dan langsung dialihkan keperkara yang sedang dihadapai Ahmad (eksekusi). Sikap Marjoso ini menandakan bahwa apa yang dikatakan Ahmad memang mempunyai efek yang sangat khusus pada diri Marjoso. Sudah jelas Marjoso diingatkan kembali pada peristiwa kematian Ibu Ahmad yang tewas ditangan dirinya.
Berawal dari benih konflik ini permasalahan dalam cerita Fajar Siddiq kemudian berjalan jadi lebih kompleks, karena apa yang menjadi alasan Ahmad sebenarnya tidak untuk mengkhianti perjuangan revolusi, melainkan sebatas ingin membalaskan dendam kepada seorang teman yang telah merenggut dunianya, alasan ini memang tidak pernah diduga oleh Marjoso sebelumnya.
3. Penanjakan Laku
Penanjakan laku adalah dimana insiden permulaan berkembang semakin bertambah ruwet dan mulai memperjelas konflik utama dalam cerita. Pada cerita Fajar Siddiq penanjakan laku terjadi pada saat tokoh Haji Jamil dan Zulaecha datang menemui Marjoso dan kemudian beradu dialog dengannya. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa Haji Jamil setuju pada putusan yang akan dilakukan Marjoso terhadap Ahmad, sedangkan Zulaecha tidak, dan mendukung banding pada perkara yang membelit kakaknya.
Berbagai macam alasan disampaikan Zulaecha pada Ayahnya dan Marjoso, agar kakaknya bisa selamat dari hukuman mati. Namun ternyata Haji Jamil dan Marjoso yang nota bene bukan orang lain bagi Ahmad, ternyata bergeming dan tidak mengindahkan Zulaecha. Perhatikan dialog Zulaecha dengan Haji Jamil pada no. 189 sampai no. 196
189. | ZULAECHA | : | Ayah harus berbuat begitu. |
190. | HAJI JAMIL | : | (marah) Mengapa aku harus berbuat begitu, Zulaecha? |
191. | ZULAECHA | : | Karena dia adalah anakmu. |
192. | HAJI JAMIL | : | Hanya karena dia anakku? |
193. | ZULAECHA | : | Karena dia kini menderita, Ayah! |
194. | HAJI JAMIL | : | Bagaimana dengan korban-korban yang telah tewas lantaran dia? Bisakah mereka mengijinkan saya? |
195. | ZULAECHA | : | Ini semata-mata korban, Ayah. |
196. | HAJI JAMIL | : | Kita semua adalah korban. Korban dari keserakahan suatu bangsa yang ingin menjajah dan mengisap. Justru itu kita berjuang, menghancurkan mereka, kita berjuang agar bumi kita yang kaya-raya ini tidak menjadi tempat berlaganya serigala-serigala lapar yang menamakan dirinya manusia. Zulaecha, mengapa kau bicara tentang korban? (Zulaecha akan bicara tetapi Haji Jamil segera menggerakkan tangannya) Jangan sela aku dulu! |
Jalan cerita semakin bartambah ruwet ketika Zulaecha mengungkit kembali kematian sang Ibu, perhatikan dialog no. 205 sampai no. 213 pada bagian ini ternyata Marjoso mempunyai alasan tersendiri dalam menentukan sikapnya selama ini. Orang tua Marjoso tewas akibat ulah temannya sendiri, Ahmad. Bagian ini juga bisa dibilang sebagai bagian twist yang ada dalam cerita karena memberikan efek kejut, atas kisah minor yang dihadapi Marjoso itu, dan berawal dari bagian ini pula tokoh Ahmad akan mengubah sikapnya.
205. | HAJI JAMIL | : | Marjoso, maafkan adikmu, Nak! |
206. | ZULAECHA | : | (bangkit dari isakannya dan mengancam) Tidak! Aku tidak perlu meminta ampun kepada pembunuh. |
207. | MARJOSO | : | (memandang jauh ke depan) Zulaecha, perlukah aku bangga-banggakan korban-korban untuk tanah air ini? Perlukah aku katakan bahwa tak lebih dari satu bulan yang lalu aku juga mengalami kesedihan yang dalam, kedua orang tuaku dua-duanya ditangkap Belanda, dan meninggal dalam penjara. |
208. | HAJI JAMIL | : | Marjoso! Benar, Nak? |
209. | MARJOSO | : | (tak bergerak) Zulaecha, kalau engkau menuntut kematian ibumu lantaran perbuatanku, sesungguhnya telah aku penuhi permintaan itu. Aku berikan arwah ibuku untuk arwah ibumu, karena abangmu jua yang menyebabkan kematian mereka, dia yang telah menyebabkan aku menjadi sebatang kara, tetapi perlukah aku katakan itu semua? Namun aku telah relakan ................. kedua orang tuaku. Seperti aku telah relakan diriku untuk revolusi besar ini. Aku memohon, semoga darah mereka yang mengalir akan mempercepat datangnya fajar kemenangan yang diharap-harapkan tujug puluh juta bangsa. |
210. | HAJI JAMIL | : | Jangan kau lemahkan hatimu, anakku, jangan kau lemahkan. |
211. | MARJOSO | : | Kini Pak Kyai satu-satunya orang tuaku. |
212. | HAJI JAMIL | : | Sejak dulu kau adalah anakku. |
213. | ZULAECHA | : | (menahan isaknya, mengangkat kepala, berdiri akan berbicara tetapi kata-katanya tak dapat keluar kemudian lari meninggalkan tempat itu. Haji Jamil tak sempat bicara. Marjoso menarik nafas) |
4. Krisis/Titik Balik
Krisis/Titik balik ataupun yang sering dikenal dengan istilah klimaks adalah sebuah tahap dimana permasalahan sudah semakin mendekati puncak dan biasanya mengandung ketegangan paling tinggi dibanding dengan tahap-tahap lainnya. Tahap ini terjadi ketika tokoh Ahmad mengetahui akan nasib kedua orang tua Marjoso. Mereka berdua kemudian saling memegang sebuah pistol untuk segera menyelesaikan semua perkara itu dengan saling tembak. Ketegangan itu diciptakan melalui dialog Marjoso, Perhatikan dialognya pada no. 233 sampai no. 242
233. | MARJOSO | : | Engkau selalau membawa soal ibumu, baik, Ahmad! Siapa yang telah menunjukkan tempat persembunyian kedua orang tuaku? Siapa yang telah menyuruh mereka untuk menjebakku? Jawab! Siapa? |
234. | AHMAD | : | (tegas) Aku! |
235. | HAJI JAMIL | : | Oh, Ahmad, di mana lagi hatimu? |
236. | MARJOSO | : | Tapi kau tak berhasil menjebak aku, namun kedua orang tuaku ditangkap dan mereka tak ada lagi kini. Mereka mangkat akibat siksaan-siksaan yang keji. |
237. | AHMAD | : | (gemetar) Tidak! ............... Tidak! .............. |
238. | MARJOSO | : | Mengapa tidak? Mereka adalah korbanmu. Sekarang apa maumu? Kau memburu aku? Korban berjatuhan karena dendammu, kini kau berhadapan dengan aku (mengambil pistol dari meja) Ini ada sepucuk pistol untuk kau pakai menghabisi musuhmu. Terimalah! (melempar pistol itu ke hadapan Ahmad, dan Ahmad menerimanya, kemudian Marjoso mencabut pistolnya sendiri) Marilah kita habisi dendam di antara kia. (Ahmad diam terpaku, pistol di tangan belum diapa-apakan, Marjoso bergerak menjauh. Haji Jamil terpaku tapi tak segera menengahi keduanya) |
239. | HAJI JAMIL | : | Jangan! Jangan kalian saling membunuh. Kalian bersaudara, kalian adalah anakku. |
240. | MARJOSO | : | Kalau aku harus mati lantaran pelurunya, Pak Kyai, aku harus ikhlas mati untuk meyakinkan dia dan orang-orang seperti dia, bahwa dalam perjuangan ini tidak harus diperhitungkan untung rugi perseorangan. Aku ikhlas mati untuk meyakinkan semua orang, bahwa sebab yang akan menggagalkan revolusi ini ialah, manakala orang masih tidak meleburkan dirinya sendiri ke dalam leburan yang tidak lagi mengenal siapa ayah, siapa ibu, dan siapa itu saudara. |
241. | HAJI JAMIL | : | Marjoso, anakku, kau tidak boleh mengorbankan diri untuk manusia yang begini rendahnya. |
242. | MARJOSO | : | Korban telah cukup banyak, Kyai. Seorang demi seorang kawan-kawan gugur lantaran soal dendam-mendendam ini. Aku merasa ikut bersalah juga Kyai (keterangan ini meliputi ketiga orang itu) (Ahmad tampak tak dapat menguasai dirinya, Marjoso mengangkat pistolnya, Haji Jamil memalingkan muka, sedih, dan putus asa dalam kecemasan) Angkat pistolmu agar kau mati dengan tidak membawa dendam ke dlam kubur. Aku akan menghitung sampai tiga kali, maka tembaklah aku dan aku akan menembakmu. (Ahmad tidak menjawab, ia mengangkat pistolnya tapi jelas tangannya mulai gemetar. Marjoso menatapinya dengan tenang. Jarak mereka kira-kira empat langkah dipisahkan oleh meja, Haji Jamil berdiri di tengah-tengahnya) |
Bagian ini kemudian diputus oleh dialog Haji Jamil yang mencoba melerai pertengakaran antara Marjoso dengan Ahmad melalui dialog selanjutnya (no.243).
243. | HAJI JAMIL | : | Nah, mulailah nembak kalian berdua. Mulailah menembak Ahmad, mulailah menembak Marjoso! (kedua-duanya tak beegerak, mulai menurunkan pistolnya. Marjoso terpaku diam, keringat mengalir di dahinya) Kalian orang-orang yang dikuasai dendam dan nafsu. |
Pada bagian dialog Haji Jamil no. 243 diatas merupakan puncak tertinggi dari tahap klimaks yang kemudian berangsur-angsur merendah kembali sampai kemudian masuk ke tahap penyelesaian.
5. Penyelesaian
Tahap ini terjadi tepat setelah berlalunya tahap klimaks, yaitu ketika Haji Jamil melerai kedua tokoh utama yang bertengkar dan saling memegang pistol untuk membalas dendam satu sama lain. Pada tahap klimaks yang menjadi pusat perhatian adalah Marjoso karena terus menyampaikan dialog dan cenderung menjadi monolog (jika tidak di tanggapi oleh tokoh Haji Jamil tentunya), sedangkan tokoh Ahmad nampak sedang tertekan dan termenung atas apa yang baru saja diketahuinya. Ditahap penyelesain inilah tokoh Ahmad sebagai tokoh protagonis kemudian menemui dilema namun akhirnya perlahan menuju tahap pengakuan bahwa tindakan yang selama ini diyakininya sebagai tindakan yang tepat ternyata salah.
Perhatikan dialog Ahmad no. 244 sampai no. 247. Dibagian ini laju konflik semakin menurun atau merendah dan mulai menemui titik terang dimana tokoh Ahmad sebagai salah satu tokoh yang berkonflik mulai menemui perubahan di dalam dirinya.
244. | AHMAD | : | (sekonyong-konyong berseru dan berlutut, menjatuhkan badannya di meja dan menangis. Air mata mulai mengumpul, Haji Jamil menghampiri dan kemudian kedua orang itu, ayah dan anak saling berpelukan dengan mesranya) Ayah! ..... |
245. | HAJI JAMIL | : | Ahmad ............... oh, Ahmad ......... kau anakku! Kau anakku! |
246. | AHMAD | : | (tak bisa menguasai dirinya) Ayah, mengapa aku harus begini? |
247. | HAJI JAMIL | : | (menggeletar) Aku serahkan engkau kepada Tuhan. Semoga Tuhan mengampuni engkau, aku ampuni dosamu kepadaku, tetapi dosamu terhadap orang lain pertanggungjawabkan sendiri terhadap Tuhanmu. Engkau anakku. Matilah engkau sebagai anakku! Sebagai seorang muslim yang mengerti arti taubat, janganlah engkau menangis karena sedih akan berpisah dengan aku, tetapi menangislah karena telah terlalu banyak berbuat dosa! |
6. Keputusan
Keputusan akhir pada kisah Fajar Siddiq ini dimulai dengan respon/sikap tokoh Ahmad yang mulai menyadari kesalahannya dan tidak kembali menentang tokoh Marjoso dan tokoh Haji Jamil. Sikap Ahmad tersebut kemudian didukung oleh kedua tokoh yang awalnya menentang dirinya itu, dukungan yang sangat jelas diberikan yaitu oleh tokoh Haji Jamil, perhatikan dialog no. 245 sampai no.247
245. | HAJI JAMIL | : | Ahmad ............... oh, Ahmad ......... kau anakku! Kau anakku! |
246. | AHMAD | : | (tak bisa menguasai dirinya) Ayah, mengapa aku harus begini? |
247. | HAJI JAMIL | : | (menggeletar) Aku serahkan engkau kepada Tuhan. Semoga Tuhan mengampuni engkau, aku ampuni dosamu kepadaku, tetapi dosamu terhadap orang lain pertanggungjawabkan sendiri terhadap Tuhanmu. Engkau anakku. Matilah engkau sebagai anakku! Sebagai seorang muslim yang mengerti arti taubat, janganlah engkau menangis karena sedih akan berpisah dengan aku, tetapi menangislah karena telah terlalu banyak berbuat dosa! |
Pemecahan masalah paling akhir kemudian ditujukan oleh tokoh Ahmad dengan menerima semua kenyataan yang akan diterimanya. Melalui dialog yang secara tidak langsung menjelaskan hal tersebut.
248. | AHMAD | : | (dengan penuh keraguan dan penyesalan yang dalam) Ayah, ....... di manakah adikku Zulaecha? |
249. | HAJI JAMIL | : | Dia dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. |
250. | AHMAD | : | Ayah, sampaikan salamku padanya ... agar ia tetap menjadi patriot bangsa dan pembela tanah air mengikuti jejak ayahnya. |
251. | MARJOSO | : | Ahmad, saatmu sudah tiba! |
252. | AHMAD | : | (tersentak seketika tertegun memandang ayahnya dan Marjoso. Dengan berat lalu melangkahkan kaki menuju keluar diikuti oleh Marjoso dan Sersan) |
253. | HAJI JAMIL | : | (mengikuti dengan pandangan penuh arti, kemudian beberapa saat terdengar tembakan tiga kali, pertanda tamatnya riwayat Ahmad, kemudian Haji Jamil melangkah ke tengah panggung dengan pandangan yang dalam dan jauh sekali) .......... Tuhanku, inilah pertanda datangnya fajar kemenangan. Kemerdekaan bangsa dan negaraku. |
LATAR/SETTING
Seperti yang sudah dijelaskan pada awal-awal pembahasan, kisah drama Fajar Siddiq ini bisa dibilang sederhana, khususnya jika dipandang dalam penggunaan latar atau setting nya. Didalam latar/setting ada pembagian latar menurut tempat, latar menurut waktu, latar menurut sosial, dan menurut suasana.
1. Latar Tempat
Tempat yang berlangsung pada drama ini sudah jelas dipaparkan oleh si pengarang sebelum dialog dimulai. Pada naskah dijelaskan bahwa drama ini berlangsung hanya di satu tempat yaitu di sebuah ruangan di markas prajurit gerilya. Ruangan itu lebih rinci dijelaskan mempunyai satu pintu, dan satu jendela yang berjeruji. Selain itu pada penjelasan inipun diterangkan bahwa properti atau alat-alat/benda yang digunakan untuk merealisasikan sebuah markas gerilya adalah satu meja, dua kursi, satu bangku (tempat duduk panjang yang biasanya digunakan sebagai tempat menunggu), peti mesiu, helm dan ransel yang digantung.
Disepanjang cerita, latar tempat yang digunakan adalah ruangan yang dijelaskan diatas, dari awal, dari tahap eksposisi/perkenalan sampai tahap konklusi/keputusan akhir cerita. Latar tempat tidak mengalami perubahan.
2. Latar Waktu
Seperti latar tempat, penggunaan latar waktu pada drama ini relatif minim, tidak menggunakan banyak waktu. Latar waktu yang digunakan pada drama Fajar Siddiq yaitu selama semalam. Berawal dari penerimaan surat oleh Marjoso dan keterangan Sersan bahwa Ahmad mesti dieksekusi esok pagi (malam hari), perdebatan batin Haji Jamil, Marjoso, dan Zulaecha (dini hari), sampai eksekusi Ahmad dilakukan (di waktu fajar atau pagi hari).
3. Latar Sosial
Mengenai latar sosial dalam konsep pembahasannya bisa disamakan dengan konsep penjelasan pada bagian ‘konflik’ dipenjelasan sebelumnya, dengan konsep klasifikasi umum dan khusus. Secara umum drama Fajar Siddiq ini berlatar sosial perjuangan, dimana sebuah bangsa sedang mengupayakan kemerdekaan atas bangsanya, oleh karena itu apa yang dibahas dan dibicarakan didalamnya tidak lepas dari hal itu, perjuangan dan kemerdekaan.
Sedangkan latar sosial secara khusus bisa dilihat dari latar belakang sosial para tokohnya, diantaranya:
a) Ahmad
Ahmad adalah seorang tahanan yang diduga menghianati revolusi kemerdekaan. Dia juga merupakan anak dari seorang pemilik pondok pesantren, dan akhirnya dapat dikatakan bahwa tokoh Ahmad mempunyai latar belakang agama.
Dengan gambaran singkat diatas dapat membantu kita memberikan gambaran akan karakter tokoh Ahmad jika dipentaskan diatas panggung, seorang laki-laki yang masih muda berkumis dan berjanggut tipis, berambut sebahu sedikit acak-acakan, memiliki sorot mata yang hidup, memakai kaus putih polos, bercelana hitam polos, semuanya harus nampak kebesaran dan nampak kusam, atau jika perlu ada beberapa sobekan ringan di ujung baju dan celananya, dan tidak beralas kaki.
b) Marjoso
Marjoso adalah seorang pemimpin pasukan gerilya yang jelas berlatar belakang tentara dan dunia formal. Selain itu Marjoso juga mempunyai latar belakang lain karena sempat berguru kepada Haji Jamil jadi sedikit banyaknya memiliki pandangan yang agamis. Walaupun begitu dunia kemiliteran jelas dominan tercermin pada karakternya.
Dari keterangan diatas dapat dibayangkan bahwa sosok dari seorang Marjoso adalah laki-laki muda berbadan tegap, berkumis tipis, berambut pendek, mempunyai sorot mata yang tajam, dan berpakaian PDH (Pakaian Dinas Harian) militer rapi.
c) Haji Jamil
Latar belakang tokoh Haji Jamil jelas adalah agama, seorang pemilik pondok pesantren yang mengelola dan membinanya secara mandiri. Selain itu Haji Jamil dapat dikatakan sebagai kyai yang nasionalis dan mendukung perjuangan revolusi bangsa.
Gambaran akan tokoh Haji Jamil dapat terbayang pada sosok orang tua laki-laki dengan rambut, kumis, dan janggut beruban, berwajah penuh kerutan khas orang tua, walau begitu memiliki sorot mata yang tajam, berkopiah, menggunakan kacamata, memakai kain sorban yang dikalungkan di leher, berbaju panjang khas baju kiyai, bersarung dan beralas kaki hitam tradisional.
d) Zulaecha
Zulaecha adalah adik dari tokoh Ahmad, sekaligus anak dari tokoh Haji Jamil, oleh karena itu latar belakang sosialnya pun tidak begitu jauh dengan kedua tokoh tersebut. Seorang wanita dengan latar belakang pesantrenan.
Dari penjelasan diatas dapat digambarkan bahwa tokoh Zulaecha adalah seorang perempuan muda, berwajah cantik namun bermata sendu, mempunyai rambut yang diikat dan digelung kebelakang, ditutup oleh selembar kain tudung yang tidak rapih (dibentangkan diatas kepala kemudian dikalungkan dan disilangkan kearah belakang leher sehingga sebagian dari rambutnya masih terlihat), mengenakan baju tradisional (seperti kebaya) panjang dan sopan, bercelana tradisional (sopan), dan beralas kaki (lebih baik sendal jepit), gaya berpakaian Zulaecha sedikit tidak begitu rapih untuk memberikan kesan keterburu-buruan.
4. Latar Suasana
Latar suasana drama dari awal sampai akhir kisah selalu berubah-ubah, jadi tidak mutlak ada satu suasana. Oleh karena itu penentuan latar suasana mestilah harus hati-hati. Sebenarnya mengenai latar suasana ini Emil Sannosa sendiri sebagai pengarangnya sudah menjelaskan diawal naskah bahwa suasana yang terkandung pada bagian awal kisah Fajar Siddiq adalah, sepi, tegang, dilengkapi dengan suara letusan tembakan dan suara iringan musik instrumental Gugur Bunga.
Dari penggambaran diatas cukup menjelaskan bagaimana latar suasana secara umum, namun bila kita bedah kembali lebih dalam dari awal hingga akhir cerita maka latar suasana yang terdapat pada drama Fajar Siddiq itu adalah tegang, sedih, kecewa, dan haru. Penjelasan suasana tersebut adalah sebagai berikut:
a) Tegang
Jika kita perhatikan secara sepintas dalam artian tidak secara intensif drama Fajar Siddiq ini memiliki latar suasana yang dominan tegang, dari awal sampai dengan akhir cerita. Namun semuanya itu tentunya fluktuatif dan kadang ketika suasan tegang berada pada titik bawah, posisi itu terisi oleh suasana lain. Suasana tegang dengan fluktuatif tinggi dapat kita temukan pada adegan dimana Ahmad dan Marjoso berdialog dibagian awal dimana Marjoso menginterogasi kedatangan Ahmad ke daerah tersebut. Kemudian penjelasan Marjoso ketika didebat oleh Zulaecha. Dan terakhir ketika adegan Marjoso dan Ahmad saling berseteru sambil memegang pistol.
b) Sedih
Suasana sedih dapat kita temukan pada bagian dimana tokoh Zulaecha yang terus memohon kepada Haji Jamil agar Ahmad bisa diselamatkan, namun tidak diindahkan oleh Haji Jamil.
c) Kecewa
Suasana kecewa tergambar pada tokoh Haji Jamil dimana anaknya telah menjadi seorang penghianat revolusi, hal ini bisa terllihat pada dialog Haji Jamil yang cenderung kasar. Selain itu suasana kecewa dapat kita temukan pada adegan dimana Zulaecha mendengar penjelasan Haji Jamil dan Marjoso yang sudah tidak bisa digoyangkan lagi keputusannya.
d) Haru
Sedangkan suasana haru tergambar jelas pada adegan dimana Ahmad mulai menyesali semua perbuatannya dan akhirnya memohon maaf kepada Haji Jamil, dibagian akhir. Sikap ahmad itu disambut hangat oleh Haji Jamil dan mereka pun kemudian berpelukan, adegan ini menambah keharuan karena setelah itu Ahmad harus menghadapi putusan akhir ekseskusi yang telah ditetapkan.
DIALOG
Dalam menyusun dialog pengarang dirasa menggunakan gaya tutur biasa maksudnya tidak terlalu memerhatikan pengulangan bunyi dan rima bahasa, cenderung seperti bahasa ungkap sehari-hari. Mungkin alasannya adalah karena ceritanya mayoritas bernuansa tegang yang membutuhkan bahasa lugas-emosional, dan agaknya tidak cocok jika menggunakan bahasa-bahasa puitis yang berkesan kaku.
Pada drama ini bagian dialog yang benar-benar harus diperhatikan adalah pada artikulasi atau kejelasan pengucapan kata, dan intonasi/penekanannya. Dengan pola dialog yang hampir semuanya bernafaskan emosi, jelas ritme yang digunakan dalam berdialog harus tek-tok (cepat namun terjaga/terkendali) karena hal inilah pengucapan dialognya harus jelas, selain itu ada beberapa penekanan yang harus diperhatikan dan bisa dimanfaatkan untuk menambah efek dramatis dalam pementasan, perhatikan kata-kata yang di cetak tebal dan digaris bawahi dalam dialog dibawah ini.
74. | AHMAD | : | (tegas) Tapi, siapakah yang akan mencucurkan untuk rubuhnya ibuku? Siapa yang suka berkata: ”Akan kutuntut kematian ini!” Siapa yang akan membalas dendamnya? |
75. | MARJOSO | : | Diam kau! (Ahmad tertunduk). Angkat mukamu, pengkhianat! Pandanglah aku untuk kali yang penghabisan. Karena malam ini juga rakyat menuntut darahmu. |
76. | AHMAD | : | Aku tidak sudi memandang muka seorang pembunuh. |
77. | MARJOSO | : | (tersentak sejurus) Angkat mukamu, pengecut. |
78. | AHMAD | : | (mengangkat mukanya perlahan-lahan) Aku telah mengangkat mukaku, Marjoso. Aku telah mengangkat mukaku, seperti dulu, tatkala kudengar serentetan tembakan. Dan kemudian rubuhlah ibuku .... mati. Aku telah mengangkat mukaku. Marjoso. |
Kata-kata yang di cetak tebal dan digaris bawahi diatas seakan-akan menjadi kunci yang menjadi pengaruh akan sikap seperti apa yang akan diambil pada dialog selanjutnya. Jadi menjaga artikulasi dan intonasi jelas mesti benar-benar dijaga harmonisasinya, karena jangan sampai sebuah dialog yang berintonasi menanjak dan memicu ledakan malah direspon dengan dialog yang sebaliknya (hal ini berlaku jika kondisi dari isi dialog yang merespon itu sama menghendaki ledakan, berbeda jika dialog yang merespon itu isinya tentang guyonan atau dialog yang berfungsi untuk merendahkan suasana).
I AMANAT
Seperti pada poin bahasan sebelumnya, pembahasan amanat pada poin ini sejatinya bisa diklasifikasikan kedalam amanat yang bersifat umum dan amanat yang bersifat khusus. Amanat umum adalah sebuah pesan pokok yang memang ada di awal cerita sampai penghabisan cerita. Sedangkan amanat khusus adalah amanat yang tersebar di pojok-pojok atau di sebagian-sebagian adegan saja.
Amanat khusus pada drama Fajar Siddiq ini adalah, pertama tentang dendam yang memang selalu membutakan hati dan pikiran mereka yang menjaganya. Tokoh Ahmad sebagai tokoh protagonis memang digambarkan sebagai tokoh yang telah dibutakan hati-pikirannya oleh dendam, sebuah pondok pesantren beserta isinya, prajurit gerilya, sepasang orang tua, tumpas gara-gara sikapnya itu dan yang lebih menyakitkannya lagi semua itu dilakukan oleh musuh bangsa, Belanda.
Kedua amanat khusus yang tergambar pada cerita drama ini adalah tentang sebuah nasihat atau pesan ‘dalam mengambil tindakan janganlah terburu-buru’ hal ini tergambar pada kejadian yang menimpa tokoh Ahmad dimana Ahmad yang berniat membalaskan dendamnya terhadap Marjoso, tapi malah membuat runyam semuanya.
Sedangkan amanat umum yang terkandung dalam Fajar Siddiq adalah tentang konsep keadilan yang digambarkan melalui para tokoh, walau bagaimanapun siapapun seseorang yang melakukan kesalahan mesti diperlakukan sama dihadapan hukum, hal ini seakan-akan menjadi kritikan tersendiri jika kita lihat pada kenyataan sebenarnya bahkan tokoh Sersan pun diawal cerita sempat meragukan putusan yang akan dilaksanakan atasannya, Marjoso, yang jelas-jelas harus mengeksekusi temannya sendiri, perhatikan penggalan dialog dibawah.
6. | SERSAN | : | Sudah terang! Tapi mereka khawatir, karena ..... karena si terhukum adalah ........ |
7. | MARJOSO | : | (cepat) Adalah kawanku? ...... Anak dari seorang guru yang ku hormati? Begitu? |
8. | SERSAN | : | Maaf, Pak. |
9. | MARJOSO | : | (mengeluh) Mereka pikir, apa aku ini? Mereka pikir dalam hal ini aku masih sempat memikirkan dia, anak dari seorang guru yang aku hormati. Kalau aku mintakan dia diperlukan dengan baik, itu adalah haknya sebagai tawanan. |
10. | SERSAN | : | Maaf, Pak. Kerap kali terjadi. |
11. | MARJOSO | : | Yaaaaaahh! Kerap kali terjadi. Orang tidak bisa membedakan antara tugas dan perasaan. Bawa dia kemari. |
***
Penulis : Dede Rudiansah
Gambar : clipfail.com
Via
Analisis

Post a Comment