Analisis
Analisis Puisi
Sajak Peperangan Abimanyu (untuk putraku: Isaias Sadewa) W.S. Rendra Analisis Unsur Intrinsik Puisi
![]() |
| Sajak Peperangan Abimanyu, Rendra |
PUISI DAN ANALISIS PUISI
PUISI SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU (UNTUK PUTRAKU : ISAIAS SADEWA), KARYA W.S. RENDRA.
Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewajiban dan kewajarannya.
Setelah ia wafat
Apakah petani-petani akan tetap menderita
Dan para wanita kampung
Tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
Ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka
Saat itu ia mendengar
Nyanyian angin dan air yang turun dari gunung
Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayat ;
Di saat badan berlumur darah,
Jiwa duduk di atas teratai.
Ketika ibu-ibu meratap
Dan mengurap rambut mereka dengan debu,
Roh ksatira bersetubuh dengan cakrawala
Untuk menanam benih
Agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
- Dari zaman ke zaman.
Jakarta, 2 September 1977
TEMA :
Dari puisi Sajak Peperangan Abimanyu karya WS Rendra di atas dapat di tarik sebuah kesimpulan bahwa tema yang terkandung di dalamnya adalah tentang sebuah perjuangan mewujudkan cita dan rasa, yang kemudian dibalut dalam kisah terbunuhnya ksatria Abimanyu seorang ksatria pembela rakyat dalam perang besar Baratayudha. Perhatikan bait ke-3 penyair menggambarkan tentang hakikat perjuangan sebagai bukti atau perwujudan nyata akan cita-cita dan rasa yang mesti di lakukan hingga akhir hayat.
Bait ke-3 :
Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayat ;
Di saat badan berlumur darah
Jiwa duduk di atas teratai
Kemudian pada bait ke-1 penyair menggambarkan tragedi terbunuhnya abimanyu dalam memperjuangkan cita-citanya :
Bait ke-1 :
Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
Di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
Karena ia telah lunas
Menjalani kewajiban dan kewajarannya.
RASA :
Dari puisi diatas rasa yang disampaikan penyair terhadap objek* adalah rasa harap atau pengharapan, perhatikan bait ke-4
Ketika ibu-ibu meratap
Dan mengurap rambut mereka dengan debu,
Roh ksatira bersetubuh dengan cakrawala
Untuk menanam benih
Agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
- Dari zaman ke zaman.
Pengharapan ini timbul dari kalangan rakyat ketika sang pembelanya meninggal dan berharap agar orang-orang sepertinya masih ada terus sampai zaman berganti zaman.
*orang-orang atau rakyat yang ditinggalkan mati oleh para pembelanya
NADA :
Dari puisi diatas sikap penyair terhadap pembaca yang dapat dirasakan adalah hanya sekedar memberi tahu pembaca saja, karena tiap bait dalam puisi Sajak Peperangan Abimanyu di atas tidak diketemukan nada mengajak, menyarankan, ataupun yang lain. Nada memberi tahu pada puisi diatas cenderung dapat dirasakan pada bait ke-3, perhatikan :
Bait ke-3 :
Perjuangan adalah satu pelaksanaan citadan rasa
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayat ;
Di saat badan berlumur darah
Jiwa duduk di atas teratai
DIKSI :
Dari puisi diatas terdapat beberapa pilihan kata khas yang dipilih penyair sehingga tidak bisa diganti walaupun kata tersebut makna denotatifnya sama, diksi yang terdapat dalam puisi Sajak Peperangan Abiamanyu diatas anatara lain, maut, delapan penjuru, ksatria, lunas, wafat, kampung, meratap, roh, dan cakrawala.
Apabila kata maut diganti dengan kata mati maka akan berbeda rasa yang ditimbulkannya, bila diganti dengan kati mati mungkin bait yang berbunyi maut akan seperti ini
Ketika mati mencegatnya di delapan penjuru
Begitu juga dengan kata delapan penjuru, sebelumnya kata delapan penjuru merupakan istilah bagi arah mata angin, yang makna tersiratnya adalah segala arah. Coba saja kata delapan penjuru di ganti dengan kata segala arah, jelas akan berbeda rasanya. Rasa yang diciptakan kata delapan penjuru terasa unik klasik, dan rasanya tepat, dan bila diganti jelas akan mengurangi keunikan tersebut, bunyinya akan menjadi seperi ini
Ketika maut mencegatnya di segala arah
PENGIMAJINASIAN :
Pada puisi diatas terdapat 2 pengimajinasian, pertama visual dan yang kedua taktil. Pertama visual, perhatikan pada bait.
Bait ke-1 :
Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
Di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
Karena ia telah lunas
Menjalani kewajiban dan kewajarannya.
Dalam bait di atas dapat tergambar dengan jelas bahwa ada seorang ksatria dalam kondisi peperangan ia dikepung oleh musuh dari segala penjuru, ia dengan gagah berani berdiri dengan mata penuh kepercaya dirian. Namun dia tidak mampu melawan musuh karena kalah jumlah, kemudian terbunuhlah ia.
Kemudian untuk imajinasi taktil, perhatikan bait ke-3
Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayat ;
Di saat badan berlumur darah
Jiwa duduk di atas teratai
Dalam bait diatas khusunya baris pertama, kedua, dan keempat terdapat kata yang maknanya abstrak dan sulit di visualkan dalam pikiran namun kata tersebut dapat dirasakan seperti apa, diantaranya kata cita, rasa, pe nghayat, dan jiwa.
KATA KONKRIT :
Dari puisi Sajak Peperangan Abimanyu karya WS Rendra diatas kata-kata jelas yang langsung menyampaikan maknanya terdapat pada bait ke-1, dan ke-3
Bait ke-1 :
Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru
Baris pertama pada bait ke-1 diatas adalah kata konkrit yang langsung melukiskan kondisi yang sedang dikepung. Kemudian bait ke-3 : Jiwa duduk di atas teratai Pada baris keempat bait ke-3 diatas adalah kata konkrit yang langsung melukiskan kondisi yang damai.
GAYA BAHASA :
Dari puisi diatas terdapat beberapa majas atau gaya bahasa yang digunakan penyair guna memperindah penyampaian puisinya. Diantaranya terdapat gaya bahasa hiperbola, personifikasi, dan repetisi. Perhatikan pada bait ke-1, disana terdapat baris yang berbunyi Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.disana menggambarkan makna percaya diri namun mungkin tidak sampai menimbulkan cahaya pada mata, dan pernyataan itu sedikit berlebihan, oleh karena penggambaran yang melebihkan, maka majas seperti ini disebut hiperbola.
Majas hiperbola ditemukan lagi pada bait ke-2 yang bunyinya Dan para wanita kampung. Tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ? kata membanjiri terkesan berlebihan karena banyaknya sejumlah manusia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan makna banjir yang sebenarnya, maka gaya bahasa pada baris ini adalah hiperbola.
Kemudian perhatikan bait ke-2 yang bunyinya Nyanyian angin dan air yang turun dari gunung pada baris ini gaya bahasa yang digunakan penyair adalah majas atau gaya bahasa personifikasi yang menggambarkan benda mati seolah-olah memiliki sifat seperti manusia, pada baris tadi di jelaskan bahwa angin,air, yang turun dari gunung bernyanyi, yang pada hakikatya bernyanyi itu hanya bisa dilakukan oleh manusia. Kemudian gaya bahasa repitisi yaitu gaya bahasa yang mengulangi sejumlah kata dalam satu baris maupun pada baris setelahnya, perhatikan pada bait ke-3
Bait ke-3 :
Perjuangan adalah satu pelaksanaan citadan rasa
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayat ;
Di saat badan berlumur darah
Jiwa duduk di atas teratai
Pada bait disana dapat dilihat baris pertama dan kedua mengulangi 2 kata yang sama yaitu Perjuangan adalah.
IRAMA :
Dari puisi diatas irama atau ritme yang cenderung tergambar adalah ritme damai dan syahdu, disana terdapat beberapa gambaran tentang matinya abimanyu namun tidak di gambarkan dengan irama menghentak-hentak.
RIMA :
Dari puisi Sajak Peperangan Abimanyu diatas terdapat pengulangan bunyi atau rima yang jenis pengulangannya adalah rima internal, yaitu rima yang terdapat pada baris yang sama, dan rima eksternal yaitu pengulangan yang terdapat pada baris yang berlainan. Perhatikan bait ke-1 pada baris pertama dan baris keempat terdapat pengulangan bunyi pada baris yang sama
Baris pertama :
Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru
Baris keempat :
Di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
Kemudian perhatikan juga pada bait ke-3 disana terdapat bunyi yang struktunya telah menjadi kata yang mendapat pengulangan di baris setelahnya.
Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayat ;
TIPOGRAFI :
Pada puisi Sajak Peperangan Abimanyu penampang puisinya sama tidak jauh berbeda dengan puisi-puisi modern pada umumnya, namun mungkin ada beberapa pengkhususan dalam pemakaian huruf kapital, tanda baca dan kemudian penempatan baris.
Untuk pemakaian huruf kapital perhatikan bait ke-1 disana dapat dilihat pemakaian huruf kapital pada 3 bari pertama kemudian 3 baris selanjutnya huruf kecil
Bait ke-1 :
Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewajiban dan kewajarannya.
Lalu untuk pemakaian tanda baca perhatikan bait ke-3, disana dapat diperhatikan penggunaan tanda titik (.) pada baris pertama lalu baris keempat, penggunaan titik koma (;) pada baris kedua, penggunaan koma (,) pada baris ketiga, dan penggunaan tanda strip (-) pada bait ke-4, karena perbedaan-perbedan penggunaan tanda ini, sebenarrnya ketika membacanyapun haruslah beda.
Bait ke-3 :
Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayat ;
Di saat badan berlumur darah,
Jiwa duduk di atas teratai.
Kemudian untuk penempatan baris, perhatikan bait ke-4 :
Ketika ibu-ibu meratap
Dan mengurap rambut mereka dengan debu,
Roh ksatira bersetubuh dengan cakrawala
Untuk menanam benih
Agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
- Dari zaman ke zaman.
AMANAT :
Pesan yang berusaha penyair sampaikan pada puisi diatas adalah tentang perjuangan dalam menggapai cita-cita yang harus besar, begitu besarnya sampai penyair menggambarkannya sampai harus mempertaruhkan nyawa.
Via
Analisis

Post a Comment