[Cerpen] Apel dan Jeruk
“Selamat malam sayang, maaf aku tak bisa menghubungimu. Jeruk kesukaanmu ini setidaknya menjadi salam rinduku padamu..."
“Selamat pagi Alea
istriku, bersama surat ini aku menaruh apel merah kesukaanmu. Maafkan aku yang
tidak bisa menemuimu, semalam aku pulang jam 3 untuk mengambil berkas. Sebelum
subuh aku harus berangkat, karena kantor memintaku datang sebelum meeting dimulai
karena Bos ingin menyampaikan sesuatu. Maafkan aku juga yang mencuri kecupan di
keningmu sebelum berangkat. Selamat bekerja sayang.”
Kutipan surat seperti
ini selalu aku tulis kepada istriku tercinta tatkala aku tidak bisa bertatap
muka dengannya. Jabatan sebagai manager disebuah perusahaan minyak negeri ini
sering menyita waktuku bersamanya. Hanya demi membahagiakan dia pujaanku, aku
rela hidup seperti ini. Pergi pagi – pulang pagi demi lebih dari sesuap nasi
yang menjadi tuntutan hidup di Ibukota Negeri.
Hari ini sebuah klausul
baru bersama penanam modal yang baru sedang dalam proses. Aku ditunjuk bersama
karyawan lainnya untuk mengawal semua prosesnya sampai berhasil karena penanam
modal yang satu ini mempunyai proges dan track record yang bagus dalam usahanya.
Kata Bosku dia adalah
orang yang tak pernah hitung-hitungan soal bisnis dalam bidang apa pun ketika
ia yakin akan perusahaan yang pilihnya.
Selesai proyek ini,
jika berhasil dan tembus sesuai angka yang diharapkan, Bos menjanjikanku
jalan-jalan ke Jepang bersama keluargaku. Dan itu artinya aku akan mempunyai
waktu bersama dengan Alea. Dan ini akan menjadi hadiahku untuknya nanti. Karena
setidaknya waktu yang hilang bersamanya akan tergantikan di Jepang nanti.
Proses kontrak ini
sudah berjalan 80%. Hari ini aku bisa pulang jam 8 malam. Dan kalau berhasil
minggu depan aku akan berangkat ke Jepang bersama Aleaku tercinta. Tapi begitu
sampai rumah, semua lampu mati dan mobil Alea tidak ada. Setelah
memanggil-manggil istriku pun tidak ada jawabnya dan aku mengecek meja tempat
kami berdua menaruh pesan.
“Selamat malam sayang,
maaf aku tak bisa menghubungimu. Jeruk kesukaanmu ini setidaknya menjadi salam
rinduku padamu. Aku harus pergi ke Bandung selama dua minggu dan aku harap kamu
bisa meneleponku setelah kamu baca surat ini.”. Secarik kertas dan jeruk dari
istriku aku baca di meja.
“Halo sayang”
“Iya halo. Maaf ya aku
buru-buru”
“Iya gapapa, udah sampe
mana?”
“Ini aku lagi di
kereta, gak tau dimana. Kamu baik-baik di rumah ya. Oh iya, nanti minggu kamu kesini
ya sayang kita liburan disini.”
“Iya sayang, aku mandi
dulu. Mua..h…” mendengarkan Alea lalu menutup telepon.
Entah mengapa
percakapan malam ini terasa hambar tak seperti biasanya, kalimat rayuan dan
candaan pun tidak ada. Hanya sebatas memberi kabar. Pada percakapan terahir
Alea memberiku beberapa destinasi wisata alam di sana, ia bilang kalau kita
berdua butuh yang segar untuk menyegarkan pikiran dari rutinitas kantor yang
begitu padat.
Aku pun menyetujuinya
dan langsung pesan tiket travel agar dapat langsung menuju hotel tempat Alea
menginap. Setidaknya pertemuan ini dapat memberiku hadian seorang anak yang
dari dulu kami idam-idamkan selama 5 tahun ini. Terlebih usiaku yang sudah
diatas kepala tiga yang artinya aku sudah semakin tua untuk mempunyai anak.
Liburan kali ini juga
sejalan dengan saran dokter pribadiku, ia bilang kalau aku butuh istirahat dan
melepas rutinitas sejenak agar kualitas sepermaku baik dan segera mempunyai
anak. Dia bilang juga bahwa ini adalah dampak dari tubuh yang telalu banyak
dipakai berpikir keras dalam bekerja.
Walau tidak begitu lelah kelihatannya, tapi otak yang dipakai berpikir lebih
menguras stamina dan energi dibanding dengan orang-orang pekerja lapangan.
Dengan keluar dari ruangan ber AC dan mencari oksigen di alam yang masih bersih
dapat membantu stamina pulih kembali, karena walau bagaimana pun katanya
oksigen di alam bebas tentu lebih baik daripada udara Jakarta pagi hari.
Memakan jeruk tanda
cinta istriku sambil berbaring di atas tempat tidur rasanya aku mendapatkan
sebuah kehangatan yang sama dari istriku tercinta. Semua yang aku bangun
bersama di rumah ini bersamanya membuatku semakin rindu padanya. Walah kini
jarak memisahkanku dengannya tapi aku tak resah, karena doaku selalu mengiringinya,
selalu, setiap saat.
Keesokan paginya
setelah alarm berbunyi dan membangunkanku, aku mengirim pesan singkat padanya.
Selamat pagi istriku, semoga sukses disana. Kecupan manisku aku kirimkan dari
rumah ini. Tolong diterima ya sayang.
Aku berharap cara ini tidak
bosan dibaca dan didengarkannya, karena aku bingung harus dengan cara apa aku
menyayanginya dengan jarak dan waktu yang kadang memisahkan. Walau alasan kami
adalah demi masa depan kami bersama anak-anak nanti. Ini juga adalah keinginan
kami sendiri, hidup di kantor dan menata karir sesuai impian kami dulu dan kini
kami sudah mencapai itu semua.
Tapi hari ini aku
sedang bertanya pada diriku sendiri, mimpi kami hidup bahagia itu dan mempunyai
anak kapankah akan tercapai. Rencanaku memberinya hadiah liburan ke Jepang pun
nampaknya tidak akan kuberikan, karena istriku tidak bisa meningalkan
pekerjaanya itu.
Lagi-lagi soal jarak
dan waktu, semua pekerjaan ini sebenarnya merenggut sebagian duniaku
bersamanya. Hidup bahagia dan berbincang bersama setiap hari sulit kurasakan.
Hanya sabtu dan minggu jika tidak ada pekerjaan lain aku bisa membelai mesra
Alea. Jabatan dan karir yang sudah aku bangun ini pun walau jadi penyebabnya
tidak mungkin aku tinggalkan begitu saja. Begitu pula istriku Alea tak mungkin
ia meninggallkan dunia yang ia impikan sejak SMA itu.
Hari ini aku hanya bisa
melanjutkan rutinitas dan mencoba memperbaiki semua dengan keadaan yang
sebenarnya sama saja. Semoga saja bosku tidak mematok waktu liburanku ke Jepang
sehingga bisa digunakan kapan saja.
“Selamat pagi Alea
tercinta, pesan ini tanpa apel kesukaanmu” aku tulis di ujung pesan singkat
tadi.
Kuningan, 7 juli
2017
***
Penulis : Andriyana
Editor: Dede Rudiansah

Mantap nih buat nemenin bacaan pagi hari
ReplyDelete